PUBLIKA.CO.ID.-Tradisi tarung sarung digunakan oleh masyarakat Bugis dan Makassar sebagai cara untuk menyelesaikan masalah atau pertikaian. Ketika terjadi perselisihan antara dua pihak dan tidak ada jalan untuk berdamai, tarung sarung menjadi pilihan terakhir untuk mencari solusi.
Dikutip dari jurnal “Makna Tradisi Sigajang Laleng Lipa pada Masyarakat ‘Wara Barat’ Palopo, Sulawesi Selatan” oleh Gen Jawara Kresna Mukti dan rekan-rekannya, masalah yang menjadi pemicu biasanya berkaitan langsung dengan rasa malu (siri’) dan harga diri (pacce), seperti penghinaan, perselingkuhan, atau konflik antar keluarga yang berkepanjangan. Tarung sarung dilakukan dengan cara saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung.
Dalam perkelahian ini, dua pria akan bertarung hingga keduanya sama-sama mati, atau salah satu dari mereka mati. Menariknya, sangat jarang terjadi situasi di mana hanya satu pihak yang selamat.
Sebelum duel dilakukan, kedua belah pihak akan menyepakati bahwa jika salah satunya tewas, pihak lain tidak akan menuntut atau memberikan sanksi apa pun. Tradisi tarung sarung mencerminkan filosofi hidup orang Bugis yang berbicara tentang pentingnya menjaga kehormatan diri: “narekko siri kuh mo’lejja-lejja, copponna mih kawalie ma’bicara” yang berarti “jika kamu menginjak-injak rasa malu saya, maka ujung badik yang akan bertindak”.
Filosofi ini mencerminkan kejelasan dan ketegasan. Ketika rasa malu dan harga diri seseorang terganggu, maka harga yang harus dibayar adalah darah dan nyawa.
“Siri” sendiri adalah konsep kesadaran hukum dan falsafah yang sangat dihormati dalam masyarakat Bugis-Makassar. Begitu pentingnya nilai ini, sehingga jika seseorang kehilangan “Siri”-nya atau merasa tidak punya rasa malu lagi, maka ia dianggap tidak lagi hidup sebagai manusia, melainkan seperti binatang. Petuah Bugis berkata: “Siri’mi Narituo” (karena malu kita hidup).
Bagi orang Bugis-Makassar, menjaga Siri’ adalah tujuan hidup tertinggi, dan mereka lebih rela mati dalam perkelahian untuk memulihkan Siri’ mereka daripada hidup tanpa Siri’. Namun, kini tradisi Sigajang laleng lipa’ hampir tidak lagi dipraktikkan dalam masyarakat Bugis-Makassar karena mereka mencari cara lain untuk menyelesaikan masalah.
Sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya ini, tradisi tarung sarung lebih sering dipertunjukkan melalui seni. Dalam berbagai kesempatan, pertunjukan tarung sarung digelar bersama dengan seni lain seperti tarian, drama, atau bahkan ritual bakar diri menggunakan obor.
Berikut beberapa hal menarik yang perlu diketahui tentang tradisi Tarung sarung yang dilansir dari berbagai sumber:
Tarung Sarung adalah Mekanisme Penyelesaian Masalah Orang Bugis-Makassar
Tradisi Sigajang Laleng Lipa’ (bugis), Sitobo’ Lalang Lipa’ (Makassar) adalah cara yang digunakan masyarakat Bugis dan Makassar dalam menyelesaikan masalah.
Ketika ada pertikaian antara dua pihak dan keduanya menemui jalan buntu untuk berdamai, maka jalan terakhir adalah dengan cara bertarung.
Masalah yang ada biasanya berkaitan langsung dengan rasa malu (siri’) dan harga diri (pacce), seperti penghinaan, perselingkuhan, atau konflik antar keluarga yang berkepanjangan.
Gambarannya adalah saling tikam menggunakan badik dalam satu sarung yang dilakukan dua pria hingga keduanya sama-sama mati atau sama-sama hidup, atau salah satunya mati. Menariknya sangat jarang dalam ritual ini ada pihak yang mati atau hidup sendirian.
Sebelum duel dilakukan, kesepakatan dibangun antar kedua belah pihak bahwa apabila salah satunya meninggal, maka pihak satunya tidak boleh menuntut atau dikenakan sanksi apapun.
Tarung Sarung adalah Bentuk Pembelaan Rasa Malu dan Pemulihan Harga Diri (Siri’ na Pacce)
Ada filosofi hidup orang Bugis yang menyangkut kehormatan diri yakni “narekko siri kuh mo’lejja-lejja, copponna mih kawalie ma’bicara”, yang artinya “jika kamu menginjak injak rasa malu saya, maka ujung badik yang bertindak.”
Terang dan tegas tercermin dalam prinsip tersebut. Tatkala menyangkut rasa malu dan harga diri seseorang yang disinggung, maka darah dan nyawapun adalah harga yang mesti dibayar.
Mengutip Buku Sosiologi Bugis Makassar (2020) bahwa “Siri‟ sendiri merupakan sebuah konsep kesadaran hukum dan falsafah dalam masyarakat Bugis-Makassar yang dianggap sakral.
Begitu sakralnya nilai itu, sehingga apabila seseorang kehilangan “Siri’”nya atau de’ni gaga siri’na (tidak ada lagi rasa malunya), maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia.
Bahkan orang Bugis-Makassar menganggap kalau mereka itu “sirupai olo’ kolo’e” (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : “Siri’mi Narituo” (karena malu kita hidup).
Bagi orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Siri’-nya, dan kalau mereka dipermalukan (Nipakasiri’/Ripakasiri’), mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Siri’-nya dari pada hidup tanpa Siri’.
Maka tatkala Sigajang Laleng Lipa’ sudah diucap dan kedua pihak telah bersepakat, maka tak ada kata mundur. Pantang bagi seorang yang mengalir darah Bugis-Makassar di nadinya menarik ucapannya kembali.
Sebagaimana petuah Bugis yang berbunyi;
“Sadda mappabati’ ada, Ada mappabati’ gau, Gau mappabati’ tau”
(Bunyi mewujudkan kata dan ucapan, ucapan menandakan kelakuan, dan kelakuan menunjukkan manusia).
Pengabadian Tradisi Tarung Sarung melalui Budaya Populer
Kini tradisi Sigajang laleng lipa’ nyaris tak lagi ditemukan di tengah masyarakat Bugis-Makassar tatkala mereka diperhadapkan dengan kebuntuan menyelesaikan sebuah masalah.
Kemudian dalam berbagai kesempatan, pertunjukkan tarung sarung juga dipentaskan bersamaan dengan cabang kesenian lainnya seperti pementasan tari, drama ataupun ritual bakar diri menggunakan obor.
Dengan demikian, melalui seni kreatif dan pertunjukan, tradisi tarung sarung tetap hidup dan diapresiasi oleh masyarakat Bugis-Makassar. Upaya untuk melestarikan warisan budaya ini merupakan bentuk pengabdian dan penghormatan terhadap nilai-nilai Siri’ na Pacce/Pesse yang telah membentuk identitas dan kepribadian masyarakat Bugis dan Makassar. (MD)