PUBLIKA.CO.ID.-Proses revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI bergulir dinamis. Panglima TNI Agus Subiyanto telah melayangkan surat kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Hadi Tjahjanto yang isinya mengusulkan sejumlah Pasal untuk masuk dalam RUU TNI.
Hal itu diungkap Kababinkum TNI, Laksamana Muda TNI Kresno Buntoro, dalam dengar pendapat publik RUU Perubahan TNI yang diselenggarakan Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Kamis (12/07/2024) kemarin. “Panglima TNI meminta ada penambahan beberapa Pasal dalam revisi UU TNI,” katanya.
Dikutif Hukum online com.Upaya merevisi UU 34/2004 ini sudah berlangsung beberapa kali tapi gagal. Kresno bersyukur saat ini peluang merevisi beleid yang berumur 20 tahun itu kembali terbuka. Soal usul penambahan usia pensiun, acuannya putusan MK No.62/PUU-XIX/2021 yang menyebut pengaturan TNI dan Polri diatur Pasal 30 UUD 1945 dalam kesatuan sistem pertahanan dan keamanan negara. Sehingga penetapan usia pensiun kedua lembaga itu harusnya sama.
Kresno menekankan TNI merupakan institusi yang mengedepankan rule of law, di mana semua kegiatan dan organisasi harus berlandaskan hukum. Bagaimana posisi TNI dalam menghadapi spektrum ancaman yang semakin luas. Begitu juga kepentingan nasional, misalnya ketika menghadapi persoalan di luar negeri seperti evakuasi WNI yang terjebak di Wuhan China ketika pandemi Covid-19 melanda beberapa waktu lalu.
Revisi UU 34/2004 perlu dilakukan mengingat sejak 2004 sampai sekarang banyak terbit UU dan peraturan perundangan, sehingga mengubah sejumlah hal. Seperti nomenklatur lembaga antara lain perubahan Departemen Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan. Panglima TNI juga menginginkan penguatan tugas TNI antara lain mengatur yang selama ini sudah dilakukan TNI. Sebab TNI adalah bagian dari komponen bangsa, maka perlu diatur hubungan kelembagaannya dalam rangka melaksanakan tugas penyelenggaraan negara.
Pasal 1 UU 34/2004 perlu diubah terkait nomenklatur dan menyesuaikan dengan norma atau istilah yang ada dalam UU. Misalnya angka 6, 7, 8, 9, dan 21. Kemudian Pasal 7 UU 34/2004 yang mengatur tugas pokok TNI menjadi 2 bentuk operasi yakni perang dan selain perang. Masing-masing tugas itu perlu dijelaskan lebih rinci definisinya dan ditambah satu tugas yakni diplomasi militer.
Sejumlah Pasal Diusulkan Masuk Dalam Revisi UU TNI
Mulai dari penambahan usia pensiun, jabatan sipil yang bisa diampu prajurit aktif, menghapus larangan bisnis prajurit TNI, dan memperjelas kewenangan.
Hal yang sama juga untuk Pasal 8,9, dan 10 yakni menjelaskan definisi tugas dari masing-masing matra. Seperti Angkatan Laut melakukan tugas penegakan hukum dan penanganan di wilayah laut sehingga bisa menjangkau lebih luas. Pasal 39 mengenai larangan prajurit TNI terlibat kegiatan bisnis, Kresno mengusulkan aturan ini dihapus sebab pada praktiknya kalangan prajurit ada yang berwirausaha.
Ketimbang melarang prajurit, ketentuan larangan itu lebih baik untuk TNI sebagai institusi. Selanjutnya, tentang jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit sebagaimana diatur Pasal 47 mengatur sangat terbatas hanya 10 institusi, padahal sejumlah UU memandatkan ada keterlibatan TNI.
Seperti UU No.32 Tahun 2014 tentang Kelautan, UU No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas UU No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU, dan UU No.11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan serta lainnya.Revisi Pasal 71 menurut Kresno berkaitan dengan usia pensiun sebagaimana diatur Pasal 53 dan pelaksanaan ketentuan ini dilakukan secara bertahap. Terakhir Pasal 55 yang berkaitan dengan manfaat Asabri yang diterima anggota TNI yang meninggal dunia, gugur, dan tewas.
“Itu beberapa pasal yang jadi saran tim TNI yang diwujudkan surat Panglima TNI ke Menkopolhukam. Nanti pasti akan ada nasdik dan detail dalam DIM dan tim dari Mabes TNI terbuka untuk diskusi lebih lanjut,” ujarnya.
Pasal bermasalah
Wakil Koordinator KontraS, Andi Muhammad Rezaldy mengatakan RUU TNI memuat pasal yang bermasalah. Misalnya soal jabatan sipil yang boleh diampu prajurit aktif salah satunya peradilan. Proses hukum yang terhadap prajurit yang melakukan pidana dibawa ke pengadilan militer, padahal UU 34/2004 memandatkan ke pengadilan umum. Sekarang substansi RUU TNI berubah lagi tak sekedar memperluas jabatan sipil bagi militer tapi pembahasan juga tergesa-gesa.
RUU mengatur jabatan sipil yang bisa diampu militer aktif itu sesuai ‘kebijakan Presiden’. Frasa ‘kebijakan Presiden’ itu menurut Andi bermakna multitafsir dan diskresi Presiden. Menelisik naskah akademik RUU, alasan dibuat ketentuan itu adalah penempatan prajurit aktif di Kementerian dan lembaga terbatas pada tugas profesional atau memenuhi kebutuhan tertentu. TNI dinilai punya sumber daya dan Kementerian/Lembaga sumber dayanya terbatas dan ketentuan tersebut diyakini dapat meringankan beban Kementerian/Lembaga.
Terkait hal tersebut Andi berpendapat harusnya ada penjelasan komprehensif apakah benar Kementerian/Lembaga membutuhkan prajurit?. Jika ketentuan ini dipaksakan, maka yang bergulir adalah kebijakan berbasis keamanan dan dipengaruhi pendekatan militeristik. Ada pengaburan peran militer dan sipil padahal dalam negara yang menganut demokrasi jelas peran sipil sebagai pemegang keputusan.
“Aturan ini sekaligus mengabaikan pentingnya membangun sumber daya manusia di kementerian/lembaga untuk melatih pegawai yang berkualitas,” paparnya.
Masyarakat sipil berharap prajurit TNI ke depan menjadi profesional. Reformasi TNI harus dituntaskan salah satunya merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Begitu pula restrukturisasi Komando Teritorial yang dimandatkan UU 34/2004 agar pembentukannya tidak mengikuti administrasi pemerintahan karena berdampak pada kepentingan politik praktis. Terakhir prajurit TNI dan keluarganya harus sejahtera dari berbagai aspek.(MD)