PUBLIKA TANJUNG SELOR-Dalam pemberitaan tindak pidana di media massa, seringkali kita melihat praktik penyamaran wajah tersangka, baik melalui blur, penutup kain hitam, atau penggunaan inisial. Meskipun tidak ada aturan hukum yang secara tegas mengharuskan tindakan ini, penyamaran identitas tersangka seringkali dipandang sebagai langkah etis dalam menghormati hak asasi manusia, khususnya prinsip praduga tak bersalah.
Secara hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur secara tegas perlunya menyamarkan identitas tersangka. Namun, asas praduga tak bersalah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Penjelasan Umum KUHAP, menjadi landasan moral bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum. Seseorang dianggap tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan.
Sebuah pandangan yang sering disuarakan adalah bahwa media mengambil langkah untuk menyamarkan wajah tersangka sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan ketaatan pada kode etik jurnalistik. Berdasarkan aturan dalam Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008, wartawan dilarang untuk mengungkapkan identitas korban kejahatan atau pelaku anak. Meskipun tidak selalu diwajibkan, penyamaran ini sering dianggap sebagai tindakan yang etis untuk menjaga privasi, mencegah penghakiman publik yang terburu-buru, dan menghormati hak-hak tersangka.
Tentu, ada kritik yang muncul terhadap praktik penyamaran wajah tersangka. Salah satu argumen adalah bahwa tindakan ini dapat memberi perlindungan terlalu besar kepada pelaku kejahatan, yang seharusnya publik berhak untuk mengetahui identitasnya. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran bahwa penyamaran wajah tersangka bisa merugikan pelaku yang mungkin tidak bersalah di mata publik, berdampak pada reputasi mereka yang bisa tercemar secara permanen.
Pada intinya, media sebagai penjaga demokrasi berhadapan dengan tantangan kompleks. Mereka harus mengelola seimbang antara hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan hak tersangka untuk diperlakukan secara adil. Meskipun prinsip praduga tak bersalah sudah diatur dalam perundang-undangan, implementasinya sering kali dipengaruhi oleh reaksi publik yang terpicu oleh pemberitaan. Inilah di mana etika jurnalistik berperan penting sebagai penjaga agar hak-hak tersangka tetap terlindungi, walaupun dalam sorotan publik yang tak terhindarkan.
Dalam perdebatan pro dan kontra, praktik penyamaran wajah tersangka lebih cenderung sebagai langkah hati-hati dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang masih berstatus tak bersalah. Prinsip-prinsip ini harus senantiasa dijunjung tinggi dalam sebuah negara hukum, di mana keadilan tidak hanya ditegakkan, namun juga dirasakan oleh semua pihak yang terlibat.(MD)