PUBLIKA,TANJUNG SELOR. – Menjelang tahun Pilkada 2024, Para elite politik beramai-ramai ‘turun gunung’. Aktivitas politik diselubungi aksi tertentu dan dilakukan elite demi tujuan khusus. Kita akrab menyebutnya sebagai politik pencitraan. Sasaran utama politik pencitraan adalah mendulang citra positif, menghasilkan opini publik, hingga meraup suara elektoral.
Dan Akhir-akhir ini, Masyarakat dipertontonkan dengan politik pencitraan mulai dari aksi menanam padi, pertemuan politik di warung Kopi, Pagelaran konser Musik,dan Lainnya,Yang ada di Provinsi Kalimantan utara,”Maksud para elite politik pun dapat dengan mudah ditebak, yakni mendapat identitas wong cilik, mendulang dukungan kalangan petani, hingga dekat dengan kalangan muda, kelompok yang berjumlah signifikan pada pilkada mendatang.
Tak ayal, bentuk-bentuk lain politik pencitraan akan semakin beragam Pada Pilkada di tahun 2024 ini. Walau tidak sedikit pula tindakan politik pencitraan berujung ejekan. Ketidaksesuaian gaya politik elite justru menjadi cibiran, sehingga semakin membuktikan tindakan yang dilakukannya hanya sekedar skenario semata. Persis yang dikatakan Walter Lippman bahwa citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di benak seseorang (pictures in our heads) dan itu tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Suatu Kelumrahan,Sama seperti figur publik lainnya, politik pencitraan para elite politik menjadi suatu kelumrahan. Citra positif dan simpati massa merupakan tolok ukur keberhasilan tokoh publik, sekaligus, dalam perspektif politik, menjadi modal mempertahankan dan atau mendapatkan kekuasaan yang lebih besar (Greater Power).
Piimpinan Media PUBLIKA BLI Made,” Mengatakan bahwa kegiatan politik utamanya adalah berbicara (politics is talk). Karenanya politik pencitraan menjadi salah satu sarana komunikasi elite kepada masyarakat. Dampak positifnya yakni hilangnya keberjarakan antara elite dan rakyat, sehingga aspirasi rakyat terkecil sekalipun seharusnya bisa lebih didengar oleh elite politik.
Jokowi menjadi contoh sukses bagaimana politik pencitraan dapat dikelola dengan baik. Identitas sederhana melekat dari gaya berpakaian hingga tindakan politik seperti blusukan. Hal seperti ini yang menimbulkan rasa persamaan antara rakyat dengan elite. Pun Jokowi yang lebih mudah menjangkau masyarakat dan mendengarkan aspirasi melalui blusukan.
Bahkan fenomena demikian dinilai sebagai gejala munculnya populisme baru (new populism), fenomena sangat berbeda dengan populisme lama yang berciri khas pertentangan negara vis-a-vis masyarakat, orang miskin dengan orang kaya, dan pribumi lawan pengaruh asing.
Berbicara tentang Jokowi, BLI Made bertutur bahwa dengan blusukan dan gaya hidup sederhana, ia mampu menggerakkan masyarakat tanpa pertentangan, dan menjadikannya sebagai populis baru yang berhasil memenangkan hati rakyat.
Praktik politik pencitraan juga tidak bisa dilepaskan juga dari Pilkada Kaltara dan sistem kepartaian. Hubungan keduanya dinilai berbanding lurus. Penyelenggaraan pemilu yang semakin bebas dan berlakunya sistem multipartai pasca Orde Baru, juga sistem pemilu proporsional terbuka mendorong maraknya politik pencitraan di kalangan kandidat.
Bahkan politik pencitraan menjadi lahan bisnis yang disiapkan para konsultan politik sedemikian rupa, yang keberadaannya terus berkembang hingga saat ini.
Pemimpin Masa Depan,Maraknya politik pencitraan membawa kekhawatiran tersendiri bagi Jon Simons. Dalam bukunya The Power of Political Images (2006), Simons menganggap bahwa politik demokratis modern adalah politik pencitraan, di mana persoalan penampilan lebih dari substansi, dan kepribadian lebih penting daripada kebijakan.
Ini menjadi salah satu dampak buruk politik pencitraan. Ideologi, visi-misi, dan program yang harusnya menjadi panduan rakyat memilih calon pemimpin, bergeser hanya pada keutamaan visualisasi personal jangka pendek semata. Hasilnya, lahir pemimpin yang hanya berdasar preferensi emosional rakyat sesaat, namun tidak mampu menuntaskan persoalan utama bangsa.
Politik pencitraan sah menjadi sarana mencari endorsement elektoral. Namun para politikus perlu sadar bahwa politik bukan sekedar ajang mendapatkan dan atau mempertahankan kuasa dalam pemilu saja. Ia harus berani melampaui politik pencitraan yang tidak hanya sekedar personalisasi belaka, namun juga mampu berbicara lantang soal gagasan dan karya nyata. Elite tidak boleh berhenti setelah pemilu berakhir.
Mereka yang terpilih kelak harus mengusahakan terhapusnya sekat-sekat antara elite dengan rakyat, serta memperjuangkan aspirasi rakyat yang selama ini melekat pada dirinya akibat politik pencitraan.
Begitu pula dengan masyarakat yang juga harus mampu melampaui politik pencitraan. Memilih pemimpin masa depan utamanya bukan dinilai hanya berdasarkan citra politik semata, terlebih dengan citra politik setting-an, namun mendasarkan pilihan pada tiga keutamaan.
Pertama, sejauh mana komitmen para elite dan calon pemimpin pada nilai-nilai demokrasi. Karena tidak jarang serangan terhadap demokrasi datang bukan dari rakyat, melainkan elite politik yang berasal dari lingkaran kekuasaan.
Kedua, tokoh yang memiliki prinsip kuat sehingga dapat berdiri kokoh dan tidak mudah ‘dihantui’ bayang-bayang aktor lain ketika menjalankan pemerintahannya kelak. Ketiga, memiliki track record dan tawaran gagasan yang jelas.
Evaluasi pengalaman serta legacy sistem yang dibangunnya selama mengemban pengalaman tersebut menjadi kriteria penilaian kita terhadap calon pemimpin Indonesia masa datang.
Ketiga keutamaan di atas sekiranya dapat memandu kita untuk menentukan calon yang akan dipilih dalam kontestasi Pemilu 2024. Sambil menanti dan menerka dinamika pencalonan yang masih terus terjadi saat ini, sekaligus ‘menikmati’ ragam politik pencitraan yang akan terjadi ke depan. Selamat mempertimbangkan dan akhirnya memilih yang terbaik.(MD)