PUBLIKA TARAKAN-Kasus pengadaan proyek strategis pemerintah kembali menjadi sorotan tajam di Kalimantan Utara. Dua perusahaan kontraktor ternama, PT Wahana Abadi Indah dan PT Thalia Mitra Persada, diduga melakukan pelanggaran serius terkait pemenuhan klasifikasi badan usaha dalam proses tender proyek besar di Tarakan. Dugaan ini tidak hanya mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian negara yang harus segera diusut tuntas.
Pada tahun 2019, PT Wahana Abadi Indah memenangkan tender pekerjaan Penanganan Pantai Amal Tahap II dengan nilai pagu sebesar Rp 50,88 miliar. Meski berhasil memperoleh kontrak tersebut, proses penetapan pemenang ini menuai kontroversi karena adanya perbedaan penerapan regulasi terkait klasifikasi badan usaha.
Pokja pengadaan menggunakan Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019 sebagai acuan klasifikasi usaha, yang ternyata berbeda dengan ketentuan dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang sudah lebih dulu berlaku dan secara hirarki peraturan memiliki kedudukan lebih tinggi. Perpres 16/2018 menetapkan bahwa:
Dengan nilai kontrak yang mencapai Rp 50,88 miliar, pekerjaan tersebut masuk kategori usaha besar sehingga seharusnya hanya dapat diikuti oleh badan usaha berstatus besar. Namun, PT Wahana Abadi Indah tercatat sebagai badan usaha menengah, sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Perpres 16/2018.
Meskipun Pokja berdalih menggunakan Permen 7/2019, secara hierarki peraturan, Perpres tetap lebih tinggi kedudukannya dan tidak dapat diabaikan. Fakta ini memperlihatkan cacat prosedur dalam penetapan pemenang tender yang berpotensi membahayakan integritas proses pengadaan pemerintah.
Tren pelanggaran serupa kembali ditemukan pada tahun 2020 dalam tender Pekerjaan Penanganan Pantai Amal Tahap II ulang tahun dengan nilai pagu sebesar Rp 52,88 miliar, dimana PT Thalia Mitra Persada dinyatakan sebagai pemenang. Data LPJK resmi mengonfirmasi bahwa PT Thalia hanya memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) di kategori menengah. Sementara itu, regulasi pengadaan, terutama Perpres 16/2018, masih berlaku sebagai acuan utama dalam klasifikasi badan usaha.
Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019 yang sebelumnya mungkin memberi ruang untuk interpretasi lain telah dicabut dan digantikan oleh Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2020 yang tetap mengedepankan Perpres 16/2018 sebagai dasar utama regulasi.Oleh karena itu, penetapan PT Thalia sebagai pemenang tender sangat jelas bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, mengingat nilai pagu pengadaan jauh melampaui batas maksimal usaha menengah, yakni Rp 50 miliar.
Dari dua kasus tersebut, sejumlah pelanggaran prinsip pengadaan barang/jasa bernuansa serius dapat diidentifikasi, diantaranya. Penggunaan Permen PUPR Nomor 7 Tahun 2019 sebagai dasar pengklasifikasian usaha oleh Pokja tahun 2019 jelas menyalahi tata urutan peraturan perundang-undangan karena Perpres 16/2018 memiliki kedudukan lebih tinggi dan menaungi aturan klasifikasi badan usaha. Sedangkan pada kasus 2020, pembelaan tersebut sudah tidak dapat dipakai karena Permen 7/2019 telah dicabut, sehingga Pokja semakin jelas melakukan kesalahan dalam mematuhi regulasi.
PT Wahana Abadi Indah dan PT Thalia Mitra Persada keduanya tergolong badan usaha menengah berdasarkan SBU yang dimiliki, sementara nilai pagu proyek perlahan melangkahi batas maksimum usaha menengah. Hal ini menimbulkan permasalahan legalitas dan integritas, karena sebenarnya badan usaha dengan klasifikasi menengah tersebut tidak berhak mengikuti tender proyek dengan nilai sebesar itu.
Pelanggaran aturan dalam pengadaan barang/jasa berpotensi membuka celah munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang berujung pada pemborosan keuangan negara. Proses tender yang tidak transparan dan prosedur yang diabaikan mudah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Potensi inefisiensi anggaran dan kerugian besar bagi negara harus diperhatikan serius oleh instansi pengawas dan aparat penegak hukum terkait.

Proses tender yang diwarnai pelanggaran ini secara langsung berdampak pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, khususnya dalam pengelolaan keuangan publik. Ketika aturan tidak ditegakkan secara konsisten dan pengawasan lemah, publik akan menilai bahwa tata kelola pemerintahan tidak profesional dan minim integritas. Ini berpotensi menjadi permasalahan jangka panjang yang menghambat pembangunan daerah serta merusak iklim investasi.
Instansi terkait, seperti Inspektorat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan harus secara aktif memeriksa dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran dalam pengadaan proyek pemerintah, termasuk melakukan audit mendalam. Penting bagi Pokja pengadaan dan staf terkait untuk mendapat pelatihan rutin tentang perubahan regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah agar tidak terjadi kekeliruan interpretasi yang berujung pelanggaran.
Mengoptimalkan penggunaan sistem e-procurement yang transparan dan akuntabel harus menjadi prioritas, sehingga seluruh proses dapat dipantau oleh berbagai stakeholder dan
Dokumen pengadaan harus disusun dengan cermat dan mengacu sepenuhnya pada regulasi yang berlaku agar kualifikasi badan usaha yang mengikuti tender tepat sasaran.
Kasus dugaan pelanggaran tender yang melibatkan PT Wahana Abadi Indah dan PT Thalia Mitra Persada mengungkapkeun masalah serius dalam penerapan aturan klasifikasi badan usaha pada pengadaan barang/jasa pemerintah di Kalimantan Utara.
Kedua perusahaan tersebut tidak memenuhi syarat kualifikasi usaha sesuai dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018, namun dinyatakan pemenang pada tender proyek bernilai di atas Rp 50 miliar. Pokja pengadaan terbukti melakukan pelanggaran administratif dengan mengabaikan hierarki dan isi peraturan yang mengatur pengadaan.
Fakta tersebut harus menjadi bahan perbaikan dan evaluasi menyeluruh oleh seluruh instansi terkait guna memperkuat tata kelola pengadaan yang transparan, akuntabel, dan menjunjung tinggi hukum demi mencegah kerugian negara serta menjaga kepercayaan publik.
Reporter Publika: I Made Wahyu Rahadia





