PUBLIKA TANJUNG SELOR – Pasca mencuatnya kasus kredit fiktif yang telah diungkap Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kaltara beberapa waktu lalu.
Setidaknya 30 kardus berkas telah diamankan dari Kantor Wilayah (Kanwil) Bankaltimtara dengan kerugian negara mencapai Rp 275,2 Miliar.
Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Borneo Tarakan, Dr. Mappa Panglima Banding pun memberikan pandangannya terhadap kasus kredit fiktif Bankaltimtara tersebut dengan mengalisis dari modus operandi dan temuan investigasi.
Dia menerangkan kasus ini melibatkan penyaluran kredit fiktif senilai Rp 275,2 Miliar dengan menggunakan jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) palsu sebagai agunan.
“Modus ini umum dalam kejahatan kerah putih, di mana pelaku memanipulasi dokumen untuk mencairkan dana tanpa dasar transaksi riil. Penyidik telah memeriksa 30 saksi sejak dimulainya penyidikan pada 29 Juli 2025, menunjukkan kompleksitas jaringan yang terlibat,” tuturnya.
“Penggeledahan dilakukan di tiga kantor Bank Kaltimtara (termasuk Cabang Nunukan), dengan penyitaan 30 kardus dokumen yang diduga menjadi alat bukti utama,” tambahnya.
Lalu dari celah sistem dan pelanggaran prosedur akuntansi, dirinya sebagai akuntan menilai kasus ini mencerminkan kegagalan kontrol internal yang kritis. Terutama terkait validasi dokumen tidak memadai karena SPK fiktif yang digunakan sebagai jaminan seharusnya diverifikasi melalui cross-check dengan pihak ketiga (misalnya, instansi pemberi pekerjaan).
“Tidak terdeteksinya kepalsuan SPK mengindikasikan lemahnya prosedur due diligence bank,” bebernya.
Kemudian pelanggaran prinsip Segregation of Duties, dugaan keterlibatan oknum internal dalam memuluskan pencairan kredit menunjukkan absennya pemisahan tugas antara tim kredit, verifikasi, dan penyetujuan. Hal ini memungkinkan kolusi untuk memanipulasi sistem.
“Manipulasi catatan keuangan yakni dokumen yang disita (30 kardus) kemungkinan berisi rekayasa buku besar atau laporan keuangan untuk menyembunyikan aliran dana ilegal,” paparnya.
Mappa begitu disapa menyebutkan dampak hukum dan kerugian negara, kasus tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 275,2 miliar. Secara hukum, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, yang mengancam hukuman penjara seumur hidup.
“Pola penyaluran kredit melalui Cabang Nunukan juga menunjukkan upaya sistematis untuk memecah transaksi guna menghindari red flag sistem audit,” jelasnya.
Untuk itu dirinya memberikan ekomendasi pencegahan berupa penguatan audit internal, dimana Bankaltimtara perlu menerapkan automated Fraud Detection System untuk memindai ketidaksesuaian dokumen (misalnya, nomor SPK yang tidak terdaftar di database pemerintah).
“Pelatihan anti korupsi, bagi karyawan harus diberikan pelatihan identifikasi Red Flags seperti permintaan kredit mendadak dengan agunan tidak wajar. Lalu, kolaborasi dengan lembaga eksternal yakni verifikasi agunan perlu melibatkan instansi terkait misalnya, Kementerian PUPR untuk proyek infrastruktur guna memastikan keaslian dokumen,” terangnya.
Dr. Mappa pun menarik kesimpulan dalam kasus ini adalah contoh klasik kredit fiktif dengan modus kolusi, yang memanfaatkan celah prosedural dan rendahnya vigilansi akuntabilitas. Dari perspektif kejahatan ekonomi, keberhasilan penuntutan bergantung pada analisis forensik terhadap 30 kardus dokumen yang disita, terutama untuk melacak aliran dana dan mengidentifikasi pihak yang berkonspirasi.
“Bankaltimtara perlu segera mereformasi tata kelola kredit guna menghindari kejadian serupa, mengingat kerugian sebesar Rp 275,2 miliar berpotensi mengganggu stabilitas keuangan daerah,” pungkasnya.
Reporter: I Made Wahyu Rahadia