PUBLIKA.CO.ID TANJUNG SELOR-Filsafat sebetulnya jauh, tapi juga dekat, dengan jurnalisme. Ia jauh karena jurnalisme, sesuai karakternya yang mengutamakan hal praktis, enggan berkutat dengan upaya reflektif, suatu daya abstraksi tingkat tinggi yang membuat para filsuf melampaui detil-detil peristiwa untuk mencari hal substansial dari realitas. Jurnalisme sebaliknya menyandarkan dirinya pada reportase, pada suatu laku kesaksian detil peristiwa, berikut tekad melaporkannya kembali kepada publik dengan benar.
Ada memang sejumlah filsuf seperti Albert Camus dan Jean Paul Sartre, yang dekat dengan jurnalisme, mereka rajin menulis di koran Prancis pada masa usai Perang Dunia ke-2. Atau misalnya Hannah Arendt yang melaporkan peristiwa persidangan Adolf Eichmann, pejabat SS Nazi yang terlibat dalam holocaust, pembantaian kaum Yahudi Jerman atas suruhan Hitler. Laporan Arendt itu pernah dimuat berseri pada 1963 di majalah The New Yorker (Arendt menjadi reporter di majalah itu. Dia juga menulis laporan lain semisal biografi penyair WH Auden). Tapi, pada umumnya para filsuf tak begitu suka dengan media massa. Mereka menganggap laporan jurnalistik bukanlah format tepat untuk mengungkapkan gagasan filsafat.
Filsafat terasa dekat dengan jurnalisme, barangkali karena keduanya punya wilayah tugas yang sama: filsafat memperkarakan apa yang disebut sebagai kebenaran (truth),sementara jurnalisme seperti kata Bill Kovach, seorang veteran jurnalis Amerika Serikat, bertugas melayani kepentingan publik dengan melaporkan kebenaran. Terhadap tugas ini, kebenaran yang diperjuangkan oleh filsafat, dan juga jurnalisme, sama-sama memikul risiko.
Sekitar 2500 tahun silam, Plato menulis laporan tentang kematian Socrates. Laporan detil kematian Socrates itu adalah arsip penting konstruksi pemikiran sang filsuf. Itu sebabnya John Carey editor buku The Faber Books of Reportage(1996) sebuah antologi karya jurnalistik yang mengumpulkan beragam reportase kesaksian terpenting di muka bumi, menempatkan catatanperistiwa kematian Socrates sebagai sebentuk reportase yang patut dikenang.
Kita tahu rekaman detik kematianSocrates yang menerima hukuman menenggak racun itu ada pada Dialog yang ditulis oleh Plato. Tindakan Socrates, seperti yang dilaporkan oleh Plato, adalah bagian dari risiko sikap filsafat, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kebenaran.
Tapi jika pertemuan filsafat danjurnalisme ada pada kebenaran dan risiko mengabarkannya, maka filsafat mungkin harus cemburu kepada jurnalisme. Jika kebenaran menjadi wilayah perjuangan filsafat, maka dunia modern menempatkan jurnalisme sebagai pekerjaan berisiko dalam soal mengungkapkan kebenaran. Dalam menjalankan tugasnya, para jurnalis mengambil risiko lebih banyak dari para filsuf, terutama dalam mempertanggungjawabkan apa yang diyakini sebagai benar.
Pada 17 tahun silam, sekitar 25kilometer dari ruang kelas ini, seorang wartawan Bantul, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, tewas.
Seseorang masuk ke rumahnya pada malam hari dan memukul kepada wartawan itu dengan pipa besihingga ia roboh bersimbah darah. Pelakunya sampai kini tak terungkap, apalagi setelah pengadilan membebaskan seorang sopir angkot yang didakwa membunuh jurnalis koran harian Bernas itu dengan motif balas dendam atas aksi perselingkuhan. Sejumlah tuduhan tak terbukti pada si sopir itu. Tapi ada dugaan yang dibangun dari sejumlah fakta lain: Udin tewas akibat rangkaian berita yang dibuatnya cukup gencar mengkritik laku kekuasaan seorang bupati. Fakta itu nyaris tak tersentuh oleh penyelidikan polisi sampai saatini.
Anak Agung Prabangsa, wartawan Radar Bali ditemukan tewas mengambang di pantai Denpasar empat tahun silam. Pengadilan membuktikan dia dibunuh karena membongkar skandal korupsi yang dilakukan oleh kroni bupati Bangli. Atau Alfred Mirulewan, seorang wartawan di Maluku Barat Daya, tewas di Pulau Kisar karena dibunuh jaringan mafia penyelundup BBM yang melibatkan aparat keamanan negara di pulau kecil itu.
Dua wartawan itu adalah wakil dari gambaran risiko pekerjaan jurnalis dalam melaporkan kebenaran. Risiko sama dihadapi oleh banyak wartawan yang bekerja di seluruh dunia. Pada 2012, Reporters Sans Frontieres, badan pemantau kebebasan persdunia, merekam data sekitar 88 jurnalis tewas di seluruh dunia. Pada paruh ketiga 2013 ini, tercatat sekitar 38 wartawan terbunuh, dan 182 dipenjara di sekujur bumi.
Pertanyaan apakah kontribusi filsafat pada jurnalisme membawa kita pada uraian yang lebih detil tentang bagaimana jurnalisme berutang pada filsafat, atau sebaliknya. Hubungan ini juga sulit untuk dijelaskan secara langsung, seperti kita bertanya apa peran filsafat bagi tegaknya sebuah pemancar televisi. Atau apa kegunaan filsafat di masa ada ancaman Amerika Serikat terhadap Suriah, atau mata uang rupiah yang nyaris pingsan dibawah himpitan dolar saat ini. Tentu, pertanyaan sama berlaku pada apa kegunaan ilmu fisika, kimia, atau biologi molekuler di tengah kecamuk perang di Afganistan.
Relasi filsafat dan jurnalisme adalah hubungan yang ragu-ragu. Filsafat, dalam sejarahnya, tak pernah begitu yakin bahwa jurnalisme adalah alat yang bisa diandalkan untuk menyampaikan gagasan, atau membongkar secara radikal apa yang kita anggap normal dari realitas.
Jurnalisme selalu berkaitan dengan laporan yang sifatnya faktawi, sesuatu yang harus diperlakukan secara objektif, dan karenanya harus dilaporkan dengan apa adanya, dan dipisahkan dari opini. Objektivitas, yang dijaga oleh doktrin akurasi, menjadi alat utama jurnalisme untuk mendekati kebenaran. Para jurnalis tak boleh memasukkan opininya atas fakta yang dilaporkan, meskipun godaan itu terbuka tetapi tindakan itu akan menodai kesucian fakta, dan meruntuhkan kepercayaan publik akan laporan yang dihasilkannya. “Factis sacred, opinion is free”, ujar CP Scott, editor senior koran Inggris TheGuardian pada1921.
Sebaliknya, filsafat selalu punya beragam tafsir terhadap apa yang disebut fakta, data, atau realitas secara umum. Filsafat melihat karya jurnalistik atau laporan peristiwa, sebagai sebuah fenomena, atau sebagai “kenyataan-yang-tampak”, dan memang jurnalisme akan berhenti di sana dengan melaporkan fakta seperti apa adanya. Filsafat, seperti apa yang dilakukan oleh aliran fenomenologi misalnya, tak mau berhenti dengan “kenyataan-yang-tampak” atau “phainomenon”, tapi menelisik lebih dalam tentang apa yang menjadi struktur dasar dari kenyataan yang tampak itu.
Dalam soal ini misalnya, jika jurnalisme meliput suatu metode baru operasi penanganan stroke di Rumah Sakit Dr. Sardjito, dan akan melihatnya dalam angle atau sudut pandang upaya baru penyelamatan manusia, maka filsafat seperti yang dilakukan oleh fenomenologi, akan melihatnya sebagai tindakan manipulasi tubuh manusia, dan menyisihkan semua penilaian moral (semisal aksi penyelamatan manusia) atasnya.
Atau kecenderungan harga saham jatuh di Bursa Efek Jakarta beberapa pekan lalu membangkitkan histeria para pelaku pasar melepaskan saham mereka sebelum terjerembab ke titik yang lebih muram. Fenomenologi tak akan melihatnya sebagai kecenderungan kejutan pasar di sistem neoliberal, atau suatu kontradiksi panjang sistem kapitalisme yang melahirkan krisis demi krisis, melainkan akan melihatnya dari faktor paling hakiki dari apa yang “dihayati” oleh para aktor di pasar bursa. Ia mungkin semacam aljabar dari kecemasan akan kehancuran, dan keserakahan untuk meraih laba, suatu metafisika di balik gerak naikturunnya grafik pasar bursa.
Edmund Husserl, filsuf Jerman dan salah satu tokoh aliran fenomenologi itu, menyebutnya sebagai Lebenswelt atau dunia-kehidupan. Semua lapisan-lapisan pengertian yang muncul dalam melihat realitas itu diberi tanda kurung, atau disisihkan terlebih dahulu. Lebenswelt adalah dunia kehidupan sehari-hari sebelum ditafsirkan oleh pendekatan ilmiah akademis. Dunia seperti ini, kata Husserl, kian raib dalam timbunan penafsiran ilmiah. Husserl menyerukan,“kembalilah ke hal-hal itu sendiri”. Kita memahaminya sebagai upaya fenomenologi mendekati realitas semurni mungkin, dan dunia kehidupan seotentik mungkin.
Jurnalisme barangkali juga telah bergerak lebih cepat melampaui filsafat. Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak lima abad lalu, wajah dunia berubah.Gagasan-gasasan baru menyebar, memprovokasi munculnya pemikiran baru di Abad Tengah, dan memuluskan jalan renaissance, serta revolusi sains, sosial, dan politik, dan menjadi pengantar ke dunia modern.
Jurnalisme, pada masa awal kemunculannya di Abad Tengah telah mampu memuluskan jalannya perubahan politik itu. Revolusi Prancis di abad ke-18 dipicu antara lain oleh tulisan Voltaire di jurnal dan koran Prancis pada masa itu. Jurnalisme juga menyebarkan gagasan nasionalisme dan republikanisme yang lahir dari rahim revolusi Prancis, sama dahsyatnya dengan ledakan pemikiran dari para filsuf abad itu. Kita juga mengingat bagaimana Karl Marx rajin menulis kritik kapitalisme, dan sekaligus menjadi jurnalis di koran Jerman RheinischeZeitungpada pertengahan abad ke-19. Gagasannya itu kelak menjadi pemantik revolusi sosialis di banyak negara di paruh pertama abad ke-20.
Lalu pada zaman ini kita menyaksikan revolusi teknologi telah mendorong munculnya bentuk-bentuk media baru; radio ditemukan pada abad lalu, disusul oleh televisi, dan kini Internet telah mengguncangkan dunia dengan dampak besar di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Kemunculan Internet telah memungkinkan informasi disampaikan realtime. Yang lebih penting, Internet telah memungkinkan komunikasi dua arah dengan interaktivitas tiada tara antara media dan pembaca, juga antar pembaca.
Kemajuan teknologi informasi telahpula memunculkan social media, yang memungkinkan partisipasi publik untuk ikut serta dalam menghasilkan berita, atau apa yang dikenal sebagai citizen journalism. Dalam hal ini, media sosial telah memaksa jurnalisme berubah. Informasi kini tak bisa lagi dimonopoli oleh industri media arus utama yang ditopang industri bermodal kuat. Tetapi kini konsumen, warga kebanyakan dan individu, juga menjadi produsen informasi melalui media sosial.
Demikianlah kita menyaksikan Indonesia sebagai negara yang getol merayakan media sosial, dengan penetrasi pengguna Internet sekitar 24 persen dari total populasi 260 juta warga republik ini. Dari sekitar 60 juta pengguna Internet, sekitar 51 juta orang adalah pemilik akun Facebook, sebuah wahana sosial media terbesar di muka bumi. Indonesia adalah negara keempat terbesar di dunia pengguna Facebook, setelah Amerika Serikat, Brasil dan India. Saat ini, ada sekitar 19 juta warga Indonesia yang punya akun di Twitter
Dengan lanskap seperti itu, media sosial juga menjadi outletbagi media arus utama untuk mendistribusikan informasi mereka. Hampir seluruh media cetak dan elektronik kini memiliki versi online di Internet. Belum lagi ribuan portal berita online baik yang amatir maupun profesional berseliweran di jagat maya itu. Apa yang tersaksikan adalah suatu upaya demokratisasi informasi yang dahsyat, meruntuhkan para rezim pembungkam media.
Pada abad ke-21, kita menyaksikan sejumlah perubahan penting kekuasaan dipicu oleh media sosial di negeri-negeri yang dulunya dipimpin oleh rezim yang anti demokrasi, yang gejolaknya kini masih menggeliat di kawasan Timur Tengah.
Kita mencatat bagaimana jurnalisme di media arus utama bergerak bersama denganmedia sosial, dan memberikan pengalaman baru yang menjebol dinding aristokrasi informasi, suatu praktek penguasaan data dan informasi di segelintir elite.
Jurnalisme telah mempromosikan kesetaraan hak, di mana semua orang berhak untuk tahu, dan berhak memberi tahu. Jurnalisme membuat perbincangan lokal dan sosial menjadi universal, sesuatu karakter yang juga dimiliki oleh filsafat.
Ada dua hal penting, di manafilsafat bisa bertemu dengan jurnalisme. Pertama, dengan lanskap “Jurnalisme 2.0” yang dibawa oleh teknologi informasi Internet, gagasan dan pengetahuan beredar dengan cepat, dengan mengusung kepercayaan, keyakinan, serta perangkat nilai berbeda-beda. Kedua, pluralisme informasi itu menuntut satu sikap filsafat yang lebih tajam, yang memberikan penghargaan kepada semua perbedaan.
Kini, dengan Internet, ada timbunan pengetahuan yang mendadak membubung di sekitar kita. Bill Kovach, dalam bukunya Blur: How to Know What’s True in the Age of Information Overload menulis bahwa pada awal abad ke-21 ini lebih banyak informasi baru tercipta dalam tiga tahun ke depan, dibandingkan yang muncul 300 ribu tahun sebelumnya. Pertanyaannya, tulis Kovach, bagaimana kita tahu semua itu benar?
Kembali pada soal yang disebutkan di bagian awal, kebenaran menjadi pokok persoalan penting baik bagi filsafat, maupun jurnalisme. Tapi kebenaran jurnalisme tentu saja bukan kebenaran filosofis, yang kerap berakhir dengan sebuah kesimpulan absolut. Kebenaran dalam jurnalisme berlaku sepanjang fakta dan data yang diajukan akurat atau sesuai dengan realitas, dan ia selalu terbuka untuk usaha verifikasi. Dalam hal ini, jurnalisme selalu bergerak dalam relativisme, dan juga skeptisisme.
Sikap skeptis ini penting, karena barangkali kita terlalu mempersoalkan kebenaran, tapi melupakan satu hal lain, bagaimana kita bisa mengetahuinya? Ketika konflik berdarah di Mesuji, Sumatera Selatan terjadi, ada sebuah video yang beredar, dan tembus ke newsroom media tentang brutalnya pembantaian antar kelompok di sana. Ada pertanyaan: apakah video itu asli dan bukan rekayasa? Skeptisisme menjadi sikap mutlak bagi media. Pembuktian video itu palsu harus dapat dilakukan secara empiris, dengan bukti yang valid. Tanpa bukti, maka kebenaran akan sulit diketahui, dan yang terjadi hanyalah perbedaan opini.
Filsafat tampaknya bisa menjadi semacam lampu sorot bagi jurnalisme di tengah kebimbangannya memahami apa yang benar. Filsafat dapat memberikan semacam peta, atau bahkan membongkar apa yang telah diyakini oleh jurnalisme sebagai suatu yang mapan, dan mungkin membuka berbagai peluang epistemologi baru di tengah sumber informasi yang kian kompleks, selain usaha memahami realitas secara lebih radikal.
Misalnya, kita tahu dunia yang direpresentasikan oleh jurnalisme adalah lewat bahasa. Untuk itu, jurnalisme harus melirik apa yang diungkap oleh Ludwig Wittgenstein. Dalam Tractacus Logico-Philosophicus, Wittgenstein menyebutkan bahwa dunia yang kita alami ini adalah susunan dari fakta-fakta dan bukan benda-benda. Berdasarkan pernyataan itu, hakikat makna bahasa, tak lain adalah penggambaran realitas dunia fakta yang diletakkan dalam struktur logika.
Tanpa filsafat, jurnalisme bisa terjerembab ke dalam lembah ignoransi, dan membiarkan dirinya menjadi alat kekuatan-kekuatan tertentu yang menutup tugas jurnalis memewartakan kebenaran. Tanpa sikap kritis, jurnalisme bisa saja mereproduksi kesalahan berpikir, atau juga menghilangkan satu fakta penting di balik struktur logika bahasa.
Ada nasehat menarik dari sastrawan Inggris, GeorgeOrwell, dalam esainya Politics and the English Language yang ditulis pada 1946, suatu zaman di mana dunia masih bergulat dengan gaung Perang Dunia ke-2, dan hampir setiap hari rakyat didunia menelan propaganda dari berbagai pihak. Orwell memusuhi kalimat pasif, karena baginya kalimat pasif punya makna politik hilangnya tanggungjawab subjek.
Dalam perspektif Wittgensteinian, kita bisa melihat kalimat pasif menghilangkan suatu fakta yang membangun realitas, dengan satu konsekuensi politis. Bandingkan misalnya, judul berita berikut; (1) “Warga Syiah Diminta Tinggalkan Kampung” (kalimat pasif), yang akan berbeda maknanya dengan judul berkalimat aktif: (2) “Pemkab Bogor Meminta Warga Syiah Tinggalkan Kampung”. Dalam konteks ini kita melihat bagaimana kalimat pasif berpeluang menghilangkan tanggung jawab kekuasaan dari satu peristiwa yang berdampak pada buntungnya hak-hak dasar manusia.
Di titik inilah, jurnalisme kerap membutuhkan kritik filsafat.
Dikutip dari laman facebook: Nezar Patria
(MD)