TANJUNG SELOR – Masyarakat adat Punan Batu Benau yang bermukim di hutan Desa Sajau Kecamatan Tanjung Palas Timur, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara), diresahkan aktifitas perambahan dan pembalakan liar.
Akibatnya, Suku Punan yang tinggal disepanjang Hulu Sungai Sajau dan hutan di Gunung Benau semakin sulit mendapatkan sumber pangan seperti buah-buahan, umbi dan hewan buruan.
Pendamping dan Pembina Suku Punan Batu Benau, Datu Abdul Karim mengungkapkan, perambahan hutan terjadi di dua lokasi yakni daerah Segagak dan kilometer 57 jalan poros Berau-Bulungan, perbatasan Provinsi Kaltara -Kalimantan Timur (Kaltim).
“Perambahan hutan ini terjadi sejak 2023 hingga 2024 (2 tahun), ada ratusan hektare lahan hutan yang sudah digarap,” kata Datu Karim, Sabtu (25/1/2025).
“Kami tidak tahu siapa yang membuka lahan itu, ada alat berat yang digunakan dan bibit sawit yang siap tanam,” tambah dia.
Datu mengungkapkan, kedua kawasan hutan itu dulunya dipenuhi pohon besar sekaligus wilayah utama warga Punan Batu Benau mencari sumber pangan seperti sarang madu.
“Untuk di kilometer 57, kami khawatir goa yang digunakan warga Punan juga terancam rusak. Apalagi, ada yang produktif sebagai goa sarang burung walet,” ungkapnya.
Datu mengaku telah melaporkan kejadian tersebut ke Pemerintah daerah setempat serta Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kaltara.
“Waktu ke dishut Kaltara, kami malah disarankan melapor ke kantor Penegakan hukum lingkungan hidup dan Kehutanan (Gakkum),” ujarnya.
Datu juga menegaskan, warga Punan Batu Benau mengaku kecewa atas kerusakan hutan adat tersebut. Padahal, atas komitmen masyarakat hukum adat (MHA) Punan menjaga kelestarian hutan, mendapatkan Kalpataru atau penghargaan dari kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga lingkungan pada 2024 lalu.
“Masyarakat Punan Batu Benau, sedang mengajukan penetapan hutan adat di KLHK. Kita khawatir, proses pengajuan hutan adat ini terganggu,” tegasnya.
Ia menambahkan, secara historis kawasan Gunung Batu Benau adalah hak ahli waris dari Kesultanan Bulungan sejak masa kekuasaan Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1956).
“Saya ini keturunan kelima untuk mendampingi suku Punan Batu Benau, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bulungan tentang perlindungan hukum adat
ditetapkan seluas 18 ribu hektar,” tutupnya. (TIM)